PEMBAHASAN
A. Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar
warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam
peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di daerah
perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua masyarakat kota
tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak memiliki orientasi
ke masa kini, misalnya gelandangan.
B. Ciri-ciri Masyarakat Modern
1. Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas
kepentingan-kepentingan pribadi.
2. Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara
terbuka dengan suasana yang saling memepengaruhi
3. Keprcayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi
sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
4. Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam
profesiyang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan,
keterampilan dan kejuruan
5. Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan
merata.
6. Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat
kompleks
7. Ekonomi hamper seluruhnya merupakan ekonomi pasar
yang didasarkanatas penggunaan uangdan alat-alat pembayaran lain.
C. Masyarakat Modern dilihat dari berbagai
Aspek
Aspek Mental Manusia :
1. Cenderung didasarkan pada pola pikirserta pola
perilaku rasionalatau logis, dengan cirri-cirimenghargai karya orang lain,
menghargai waktu, menghargai mutu, berpikir kreatif, efisien, produktif percaya
pada diri sendiri, disiplin, dan bertanggung jawab.
2. Memiliki sifat keterbukaan, yaitu dapat menerima
pandangan dan gagasan orang lain.
Aspek Teknologi :
1. Teknologi merupakan factor utama untuk menunjang
kehidupan kearah kemajuan atau modernisasi.
2. Sebagai hasil ilmu pengetahuan dengan kemampuan
produksi dan efisiensi yang tinggi.
Aspek Pranata Sosial :
I. Pranata Agama :
Relatif kurang terasa dan tampak dalam kehidupan
sehari-hari, diaibatkan karena sekularisme
II. Pranata Ekonomi :
1. Bertumpu pada sektor Indusri Pembagian kerja yang
lebih tegas dan memiliki batas-batas yang nyata.
2. Pembagian kerja berdasarkan usia dan jenis kelamin
kurang terlihat.
3. Kesamaan kesempatan kerja antar priadan wanita
sangat tinggi.
4. Kurang mengenal gotong-royong.
5. Diobedakan menjadi tiga fungsi, yaitu: produksi
distribusi, dan konsumsi.
6. Hampir semua kebutuhan hidupmasyarakat diperoleh
melalui pasar dengan menggunakan uang sebagai alat tukar yang sah.
III. Pranata Keluarga :
1. Ikatan kekeluargaan sudah mulai lemahdan longgar,
karena cara hidup yang cenderung inidividualis.
2. Rasa solidaritas berdasarkan kekerabatan umumnya
sudah mulai menipis.
IV. Pranata Pendidikan :
Tersedianya fasilitas pendidikan formal mulai dari tingkat
rendah hingga tinggi, disamping pendidikan keterampilan khusus lainnya.
V. Pranata Politik :
Adanya pertumbuhan dan berkembangnya kesadaran berpolitik
sebagai wujud demokratisasi masyarakat.
D. Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat Modern
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk
eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan
pribadi dengan keluarga.
Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada
umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern
mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan
pola makanan dan pola kerja.
Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau
keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk
modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena
pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman
berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap.
Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri
kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan
waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah
mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita
dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi)
ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang
terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal
mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi
modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek
kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat
rendah.
E. Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya
beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh
aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat
arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”.
Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan
internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya
kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri
dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan
kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi
overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran
timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis
demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan
mengerogoti Kebudayaan Nasional yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu
merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Menurut para
ahli kebudayaan modern dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern
dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak
Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas
sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa
dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang
kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam
putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu
kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan
dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat:
media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan
rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup
sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti
tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak
mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis,
Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala
macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa
mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan
Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu
yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan
itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan
teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan
simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang
internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried
Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh
hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty
free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun
sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya
artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang
bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern.
Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap
identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin
membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa
kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri
sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan,
blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang
ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang
dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini,
bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan
sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi
kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena
ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya
manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan
Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan
Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia
mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain,
akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan
barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka
masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu
belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan
Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga
belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang
pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan
moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
F. Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern
1. Kebudayaan Modern Tiruan
Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah
Kebudayaan Modern Tiruan. Dia mengancam justru karena tidak sejati, tidak
substansial. Yang ditawarkan adalah semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi
manusia plastik, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong,
manusia latah.
Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng,
mempunyai daya tarik luar biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita
tentang nilai, tentang dasar harga diri, tentang status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan
yang dulu bahkan tidak dapat kita impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup,
kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita
kehilangan penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah , kehabisan
identitas. Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan
tradisional kita sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis
modern sungguhan (Suseno;1992)
2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah
perjuangan manusia dalam mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang
paling mendasar bagi manusia adalah masalah makan, pakaian dan perumahan.
Ketika orang kekurangan gizi bagaimana ia akan mendapat orang yang cerdas.
Ketika kebutuhan pokok saja tidak terpenuhi bagaimana orang akan berpikir maju
dan menciptakan teknologi yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan
pemenuhan kebutuhan kita sangat mempengaruhi pola hubungan di antara manusia.
Orang rela mencuri bahkan membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga,
kelalaian dalam hal ini bukan hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan,
kematian, akan tetapi akan berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.
3. Masalah Pendidikan yang Tepat
Pendidikan masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian
serius jika bangsa ini ingin dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena
yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan
dengan pendidikan, dalam artian bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan
kebudayaan di dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan yang menjadi spirit dari
sistem pendidikan yang kita terapkan.
4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Problem ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih
menjadi konsumen atas produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi
keilmiahan kita belum berkembang dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang
kondusif bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian dan penciptaan
produk-produk, teknologi baru. Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari
luar negeri, maka kita akan terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini
tantangan bagi kita untuk mengejar ketertinggalan iptek dari negara-negara
maju.
5. Kondisi Alam Global
Beberapa waktu yang lalu di halaman depan harian Kompas
tanggal 12 April 2007, ada berita menarik mengenai keadaan bumi hari ini,
’Pemanasan Global, Jutaan Orang akan Teracam”. Pemanasan global akan memberi
dampak negatif yang nyata bagi kehidupan ratusan juta warga di dunia.
Demikianlah antara lain isi laporan kedua PBB yang sudah dipublikasikan tahun
2007. Laporan pertama berisikan bukti ilmiah perubahan iklim, sedangkan laporan
ketiga akan membeberkan tindakan untuk menanganinya.
Laporan para pakar yang tergabung dalam Intergovermental
Panel on Climate Change (IPCC) dibeberkan dalam jumpa pers secara serentak di
berbagai belahan dunia, Selasa (10/04/2007). Laporan setebal 1.572 halaman itu
ditulis dan dikaji 441 anggota IPCC.
Salah satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu
permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang. Hal itu akan mengakibatkan
gunung es di Amerika Latin mencair. Dampak lanjutannya adalah kegagalan panen,
yang hingga tahun 2050 mengakibatkan 130 juta penduduk dunia, terutama di Asia,
kelaparan. Pertanian gandum di Afrika juga akan mengalami hal yang sama.
Laporan itu menggarisbawahi dampak pemanasan global berupa
meningkatnya permukaan laut, lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional
yang makin meningkat. Disebutkan, 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada
2080. Lapisan es di kutub mencair hingga terjadi aliran air di kutub utara. Hal
itu akan mengakibatkan terusan Panama terbenam.
Naiknya suhu memicu topan yang lebih dasyat hingga
mempengaruhi wilayah pantai yang selama ini aman dari gangguan badai. Banyak
tempat yang kini kering makin kering, sebaliknya berbagai tempat basah akan
semakin basah. Kesenjangan distribusi air secara alami ini akan berpotensi
meningkatkan ketegangan dalam pemanfaaatan air untuk kepentingan industri,
pertanian dan penduduk.
Asia menjadi bagian dari bumi yang akan paling parah.
Perubahan iklim yang tak terdeteksi akan menjadi bencana lingkungan dan
ekonomi, dan buntutnya adalah tragedi kemanusiaan. Laporan itu mengingatkan,
setiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius, antara lain akan menurunkan produksi
pertanian di Cina dan Bangladesh hingga 30 persen hingga 2050. Kelangkaan air
meningkat di India seiring dengan menurunya lapisan es di Pegunungan Himalaya.
Sekitar 100 juta warga pesisir di Asia pemukimannya tergenang karena
peningkatan permukaan laut setinggi antara 1 milimeter hingga 3 milimeter
setiap tahun. Saat ini, pemanasan global sudah terasa dengan terjadinya
kematian dan punahnya spesies di Afrika dan Asia
G. Dampak Negatif dari budaya Masyarakat Modern
1. Penyalahgunaan media teknologi sebagai sarana
pencarian hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
2. Timbulnya praktek-peraktek curang dalam dunia kerja
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
3. Sekularisasi adalah sebuah proses pemisahan
institusi-institusi dan simbol-simbol politis dari initusi-institusi dan
simbol-simbol religius. Kebijakan-kebijakan Negara yang mengatur sebuah
masyarakat tidak lagi didasarkan pada norma-norma agama, melainkan pada
asas-asas non-religius, seperti: etika dan pragmatisme politik. Kelahiran
Negara nasional dan Negara konstitusional di zaman modern menandai proses ini.
Konstitusi Negara modern tidak lagi didasarkan pada doktrin-doktrin religius,
seperti pada Negara-negara tradisional di Eropa abad pertengahan, melainkan
pada prosedur-prosedur birokratis rasional yang mengakui kesamaan hak dan
kebebasan setiap warganegara. Mengapa masyarakat modern menempuh jalan
sekularisasi? Karena (1) Otoritas politis tidak merasa cukup dengan wewenangnya
atas wilayah publik dan ingin juga memberikan regulasi dalam ruang privat
seperti yang dilakukan oleh otoritas religius; dan (2) pikiran kritis dicurigai
sebagai unsur ‘subversif’ yang melemahkan kepatuhan kepada otoritas.
Sekularisasi adalah upaya memberi batas-batas di antara kedua bidang itu dengan
memandang keduanya otonom, yakni yang satu tidak dapat direduksi kepada yang
lain. Dengan sekularisasi, urusan-urusan religius dianggap beroperasi di dalam
ruang privat, tercakup dalam kebebasan subjektif individu untuk menemukan jalan
hidupnya. Efek positif sekularisasi adalah toleransi agama, sebab
doktrin-doktrin dan nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasi di dalam
politik.
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.
4. Liberalisme adalah ideologi modern, karena ia muncul
bersamaan dengan modernisasi dan segala pertentangan ideologis dalam masyarakat
modern tak lain daripada pertentangan dengan liberalisme, sehingga cerita
tentang modernitas tak kurang daripada cerita tentang liberalisme dan para
lawannya. Dalam arti ini, liberalisme sangat sensitif terhadap kolektivisme dan
absolutisme kekuasaan. Ekonomi tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi
Negara, maka liberalisme sejak awal mendukung ekonomi pasar bebas. Di dalam
pasar orang tidak bertransaksi dengan membeda-bedakan latar-belakang agama dan
kebudayaan. Yang penting transaksi itu fair. Dengan kata lain, di dalam
transaksi orang melihat agama partner transaksinya sebagai urusan privatnya
yang tidak relevan untuk proses pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang
melihat agama sebagai persoalan privat yang tidak relevan untuk proses
pertukaran itu oleh liberalisme diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih
luas, yaitu di dalam Negara modern. Liberalisme ekonomi mengandung bahaya
tertentu, yaitu intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan secara
ekonomis oleh mekanisme pasar bebas itu. Namun liberalisme yang berkaitan
dengan pendirian intelektual dan sikap-sikap politis justru membantu sebuah
masyarakat untuk toleran terhadap kemajemukan. Jika Negara berkonsentrasi pada
the problem of justice dan tidak mengintervensi the problem of good life yang
adalah kewenangan kelompok-kelompok dalam masyarakat itu, Negara akan menjadi
milik bersama kelompok-kelompok sosial itu dan tidak bersikap diskriminatif.
Negara liberal berupaya bersikap netral terhadap agama-agama di dalamnya, dan
ini justru mendukung kebebasan individu. Di sini liberalisme dapat juga dilihat
sebagai hasil dari sekularisasi yang tidak secara mutlak perlu bermuara pada
sekularisme. Artinya, suatu Negara liberal tidak harus sekularistis, yakni
ingin menyingkirkan agama di dalamnya. Negara liberal juga bisa memiliki respek
terhadap agama, namun regulasi-regulasinya tetap sekular. Ia bersikap netral
dari agama, namun memberi infrastruktur yang adil bagi agama-agama untuk
berkembang, sebab para anggota agama-agama itu adalah juga warganegaranya.
5. Pluralisme adalah sebuah pandangan yang beroperasi
di dalam kebudayaan dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan
orientasi-orientasi nilai di dalam masyarakat modern. Dasar pluralisme adalah
the fact of plurality, yakni suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat
mengalami modernisasi, masyarakat itu mengalami pluralisasi nilai di dalam
dirinya. Pluralitas tidak serta merta memunculkan pluralisme, karena tidak
semua orang setuju pluralitas. Kaum konservatif dan rmonatis, misalnya, akan
meratapi pluralitas sebagai sindrom disintegrasi sosial dan moral. Namun ada
kelompok-kelompok yang menerima pluralitas sebagai kenyataan hidup bersama dan
mencoba hidup bersama secara toleran. Kelompok-kelompok ini bisa berasal dari
kalangan agama, cendikia, politikus atau budayawan. Pandangan yang menerima
pluralitas sebagai realitas hidup bersama dan mencoba mengembangkan
sarana-sarana moral dan intelektual untuk membuka ruang kebebasan dan toleransi
bagi aneka orientasi nilai etnis, religius ataupun poltis di dalam mayarakat
modern itu kita sebut pluralisme.
Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama “tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak ada hanya satu Kristen, satu Hindhu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya, Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini – di antara mereka konservatif garis keras – terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka itu homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan kebudayaan dan agama. Kelompok-kelompok agama yang menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai sesuatu yang morongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern.
Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama “tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak ada hanya satu Kristen, satu Hindhu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya, Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini – di antara mereka konservatif garis keras – terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka itu homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan kebudayaan dan agama. Kelompok-kelompok agama yang menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai sesuatu yang morongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern.
Daftar
Pustaka
Bakker, JWM. 1999. Filsafat Kebudayaan Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Davis, Kingsley. 1960. Human Society The
Macmillan Company. New York.
Dewantara, Ki Hajar. 1994. Kebudayaan.
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa..
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta : Rineka Cipta
Sarjono. Agus R (Editor). 1999. Pembebasan
Budaya-Budaya Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali Pers
Soemardjan, S dan Breazeale, K. 1993. Cultural
Change in Rural Indonesia; Impact of Village Development. Honolulu:
UNS-YISS-East West Center.
Sorokin, Pitirim A. 1957. Social and Cultural
Dynamics. Boston: Sargent.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar